Jumat, 22 Februari 2013

membangun prajurit papua

Kita tentu sering melihat prajurit TNI di perkotaan dan di tempat-tempat yang terbuka untuk umum. Penampilannya bisa diamati, baik ketika berjalan kaki, berlatih ataupun pada saat melintas di jalan raya dengan kendaraan bermotor. Sosok yang kita lihat itu sudah pasti bukan gambaran penampilan prajurit secara utuh. Di Papua, khususnya di daerah terpencil dan tingkat kerawanan di perbatasan RI-PNG, penampilan prajurit kita sudah pasti tidak sama. Hakekat ancaman yang sewaktu-waktu dapat membahayakan membuat prajurit di wilayah ini harus mengakrabi hutan, menjauhkan keluh kesah karena sulitnya medan. Tanggung jawab yang dipikul membuat mereka harus rela makan seadanya, istirahat tanpa kasur dan berpantang pulas. Kebahagiaan akan datang bila di benaknya timbul bayangan wajah kekasih atau keluarga nan jauh di mata.Dua sosok yang berbeda dalam satu organisasi. Bagaimana jika kita melihat perbedaan antaranak bangsa dari berbagai latar belakang? Perbedaan akan semakin banyak jika kita memang berhasrat mencarinya. Tetapi, penonjolan perbedaan primordial dan perbedaan lain, umumnya akan menjadi hambatan psikis dalam berinteraksi. Dalam hidup keseharian, acapkali kita mendengar bahkan mengatakan putra daerah dan pendatang, pada konteks dikotomi. Sangat menarik ketika 22 Juni lalu Pangdam mengatakan, semua prajurit Kodam XVII/Trikora adalah orang Papua.
Pernyataan itu disampaikan Mayjen TNI George Toisutta, tidak lama setelah menjabat sebagai Pangdam XVII/Trikora, menggantikan Mayjen TNI Nurdin Zainal, MM. Pada waktu itu, Pangdam menyebut para prajuritnya hidup dan bekerja di Papua, dan karena itu harus merasa sebagai orang Papua. Ia berharap, tidak seorang pun prajuritnya selalu memposisikan diri sebagai orang Jawa, Makassar atau yang lain. Selanjutnya, sebagai orang Papua, para prajuritnya diminta menggunakan ukuran-ukuran Papua untuk kondisi lokal. Jika semua prajurit yang bertugas di Papua ini, apakah yang memang berasal dari latar belakang etnis Melanesia, etnis lain tetapi lahir atau besar di Papua, ataupun yang baru mengenal Papua setelah menjadi prajurit, perlu waktu yang tidak singkat.
Tetapi, bila ada kesungguhan, ini akan menjadi modal berharga bagi pembangunan prajurit TNI di Papua, dan jadi prakondisi yang baik bagi pembangunan wilayah Papua. Sebagaimana makna kata "membangun", menjadikan para prajurit yang bertugas di Papua sebagai orang Papua, perlu perhatian pelbagai pihak, siapa saja yang mencintai kehidupan di Papua ini. Membangun prajurit sebagai orang Papua tentu tidak akan berhasil jika hanya datang dari keinginan prajurit. Memang, jika semua prajurit di Papua telah menjadi orang Papua, itu akan membantu dirinya melaksanakan tugas-tugas profesionalismenya dengan baik.
Namun, ibarat hasil panen di ladang, tuaian yang lebih besar dari itu adalah sinergisnya kekuatan komponen bangsa di daerah ini untuk membangun Papua. Kita memerlukan niat baik atau goodwill dari semua komponen bangsa yang ada di wilayah ini. Prinsip sederajat patut kita kembangkan bersama, jika kita sepakat membangun prajurit TNI di Papua sebagai orang Papua. Dengan prinsip sederajat, setiap prajurit tidak merasa dirinya lebih rendah atau lebih tinggi dari sesama warga negara yang bukan tentara.
Pun demikian dengan kalangan nonmiliter, tidak memperlakukan dirinya jauh di atas rekan sebangsanya yang serdadu. Interaksi sesama warga negara, militer dengan nonmiliter, penduduk ras Melanesia dengan ras bukan Melamesia, berlangsung dalam suasana kejiwaan yang setara. Membangun prajurit setempat sebagai orang Papua, hanya akan terwujud bila dalam kehidupan keseharian, prajurit itu menyatu dengan rakyat atau masyarakat di lingkungannya. Adalah mustahil prajurit disebut sebagai orang Papua, jika dia tidak bergerak dalam denyut nadi kehidupan di Papua. Dia juga tidak mungkin bisa jadi orang Papua jika wawasan, budaya, dan hidupnya bukan untuk Papua. Jika hanya sebatas wawasan Papua, tentu tidak cukup. Orang yang memiliki wawasan luas tentang Papua, tetapi tidak merasa memiliki budayanya dan hidupnya bukan untuk Papua bukanlah orang Papua, tetapi dapat disebut sebagai Papuanis. Menjadi seorang Papuanis memang baik, tetapi kepapuaan prajurit harus lebih dari tingkatan ini. Keyakinan keberhasilan membangun prajurit TNI menjadi orang Papua, tentulah bertambah besar bila disertai dengan penumbuhan solidaritas lintas profesi di Papua. Memaknai solidaritas dalam konteks ini, agaknya tidak salah jika kita sebut Papua sebagai komunitas dan kaum profesi sebagai anggota. Doktor W.A. Gerungan, ahli psikologi dalam Psikologi Sosial (Eresco Bandung, 1987) mengatakan, terdapatnya solidaritas yang tinggi di dalam kelompok bergantung pula kepada kepercayaan anggota-anggotanya akan kemampuan kawan-kawannya untuk melaksanakan tugasnya dengan baik.
Semua tugas dan panggilan hati nurani dari semua komponen bangsa untuk memajukan Papua, akan terlaksana dengan baik jika ada solidaritas profesi. Kehidupan di Papua akan lebih baik, dalam suatu garis linier yang progresif, andaikan semua kalangan profesi dapat mewujudkan solidaritas yang tinggi. Dengan solidaritas itu, tidak ada satu profesi yang senang jika mitranya dari profesi lain tidak berfungsi dengan baik. Yang ada ialah dukungan. Hal lain yang signifikan memberi keberhasilan upaya ini ialah peningkatan peran kalangan humanis dan pelaku jurnalistik. Kalangan humanis yang menonjol dalam sisi kemanusiaan, diharapkan dapat mengangkat fenomena untuk kebaikan bersama. Praktisi jurnalistik yang handal dalam pembentukan opini pun akan memegang peran penting. Karya-karya jurnalistinya, yang disampaikan melalui media cetak maupun eletronik akan mewarnai wacana publik, baik di perkampungan maupun di perkotaan.Menjadikan prajurit TNI di Papua sebagai orang Papua, penting kita pikirkan bersama, terlebih ketika prajurit Kodam XVII/Trikora berbahagia dalam perayaan hari ulang tahunnya yang ke-53, pada 1 Agustus ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar