Teluk Triton terletak di Kabupaten Kaimana, Papua Barat.
Daerah ini dikenal dengan keindahan bawah air yang dikenal sebagai sorga bawah laut dan warisan budaya.
Daerah ini dikenal dengan keindahan bawah air yang dikenal sebagai sorga bawah laut dan warisan budaya.
Kawasan di Teluk Triton terdapat
959 jenis ikan karang dan 471 jenis karang di mana 16 dari mereka
adalah spesies baru. Keindahan karang lunak adalah pemandanganan air
alami di Teluk Triton. Serta dengan mudah menemukan Bryde’s paus mencari
makanan.
Gambar kuno dari jaman
pra-sejarah di sisi gunung menunjukkan telapak tangan dan binatang di
Maimai adalah keindahan budaya yang semenarik dunia bawah laut di Teluk
ini.
Menuju Teluk Triton dapat
dengan penerbangan atau kapal dengan jadual tertentu ke Kaimana kemudian
ke Teluk Triton, satu-satunya alat transportasi yang tersedia adalah
transportasi laut dari Kaimana. Sebuah kapal milik pemerintah daerah di
Kaimana yang transit di beberapa desa Teluk Triton yang sedang dalam
perjalanan ke Teluk Etna.atau mengambil longboat atau speedboat sewaan
untuk pergi ke Teluk Triton. Dari Port Kaimana, akan memakan waktu
sekitar tiga jam dengan perahu panjang dan sekitar satu setengah jam
dengan speedboat ke Teluk Triton.
Melihat gambar kuno dari jaman
pra-sejarah di sisi dinding gunung sepanjang 1 Km di Maimai, Bryde’s
paus di Lobo, dan menyelam atau snorkeling di dekat Temintoi, Selat
Iris, masih dalam Teluk Triton. Anda hanya dapat melakukan perjalanan
sekitar melalui laut. Bila cuaca baik, Anda dapat mengunjungi berbagai
lokasi dalam satu hari.
SURGA,
kata yang tepat untuk menggambarkan istimewanya keindahan Teluk Triton
di Distrik Kaimana, Kabupaten Kaimana, Papua Barat. Bagi pecinta
traveling, Teluk Triton bak surga yang menawarkan kesempurnaan. Tak
tanggung-tanggung di sini Anda akan dimanjakan dengan berbagai
pengalaman berbeda.
Coba tenggok daerah Maimai. Di
dinding tebing karang sepanjang sekitar 1 kilometer terdapat lukisan
kuno peninggalan zaman prasejarah. Anda bisa menyaksikan berbagai
lukisan etnik berupa telapak tangan, tengkorak, dan binatang. Yang
menarik lukisan ini dibuat di lokasi tebing karang yang sulit dijangkau
dengan tangan telanjang. Meski sudah berabad-abad lamanya lukisan dari
bahan pewarna alami tersebut masih tampak jelas hingga saat ini.
Pemandangan situs lukisan kuno
di tebing karang adalah awal dari perjalanan anda di Teluk Triton.
Kejutan lain bisa anda temukan di sekitar Kampung Lobo. Anda akan
menjumpai pemandangan langka berupa atraksi mamalia raksasa di sekitar
perairan kampung ini. Sebagai habitat paus Bryde’s tak sulit untuk
menjumpai mamalia ini. Semburan air ke udara dari lubang di punggung
paus menjadi penanda atraksi ini bisa segera anda nikmati dari atas
kapal.
Eloknya, paus-paus di sini hidup harmonis dengan masyarakat Teluk Triton. Meski hidup sebagai nelayan, masyarakat di sini tidak memburu mamalia ini. Mereka menganggap mamalia ini sebagai keluarga bahkan penyelamat. Tak heran jika binatang yang bisa mencapai ukuran hingga 12 meter ini tak segan-segan menampakkan diri bermain di sekitar perahu nelayan.
Saat air laut di sini teduh, kesempatan anda menyaksikan paus Bryde’s semakin mudah. Bagi pecinta selam dan pemburu foto underwater, kesempatan langka untuk bermain dan mengabadikan polah binatang raksasa ini rasanya sayang jika dilewatkan.
Masih di Kampung Lobo anda juga
bisa menyaksikan jejak peninggalan Hindia Belanda berupa tugu “Fort du
Bus”. Dari tugu ini bisa dipastikan pada tahun 1828 di Lobo pernah
berdiri benteng dan pos administrasi Hindia Belanda bernama Fort du Bus.
Nama Ford du Bus diambil dari
nama Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang berkuasa saat itu, L.P.J.
Burggraaf du Bus de Gisignies. Berdirinya benteng ini menandai
dimulainya koloni Hindia Belanda di tanah Papua. Pada masa tersebut
pemerintah Hindia Belanda bahkan mengangkat tiga penduduk pribumi
masing-masing adalah Raja Namatota, Raja Lokajihia yaitu Kasa, dan Lutu
(orang terpandang di Lobo, Mewara dan Sendawan) sebagai kepala di daerah
masing-masing.
Wabah malaria yang menyerang
Lobo pada tahun 1835 mengubah keadaan. Wabah ini membunuh sebagian besar
tentara Hindia Belanda di sana. Akhirnya benteng ini pun ditinggalkan.
Bagi pecinta selam, Anda wajib
untuk membawa perlengkapan selam anda. Di Teluk Triton keindahan alam
bawah lautnya sayang jika dilewatkan. Di sini, lokasi menyelam (dive site)
yang biasa dikunjungi ada di seputar Temintoi, Selat Iris. Kekayaan
alam bawah lautnya jelas tak diragukan lagi. Menurut data Conservation
International (CI) Indonesia tahun 2006, perairan Teluk Triton memiliki
959 jenis ikan karang, 471 jenis karang (16 diantaranya jenis baru), dan
28 jenis udang mantis.
Puas menyelam, menu perjalanan
terakhir adalah menikmati indahnya senja Kaimana. Senja di sini bukan
sembarang senja. Jika cuaca cukup baik, bisa dipastikan senja di Kaimana
akan memberi hiburan tak terlupakan. Kala senja, torehan semburat
jingga merata di langit Kaimana. Dari Teluk Triton kemengahan senja
terasa saat bola raksasa hangat laksana tenggelam di telan lautan.
Untuk menjumput indahnya surga
di Teluk Triton, transportasi satu-satunya adalah menggunakan jalur
laut. Sayang, di sini belum tersedia kapal wisata reguler yang melayani
rute perjalanan di atas. Anda bisa mencapainya dengan menggunakan speedboat sewaan dari pelabuhan Kaimana. Biaya sewa speedboat dari Kaimana dibandrol sekitar Rp. 4-5 juta per hari.
Rabu, 19 Mei 2010
Carstenz Pyramide
Nama Cartensz diambil dari penemunya yaitu seorang pelaut asal Belanda, John Carstensz
yang menyaksikan adanya puncak gunung yang tertutup oleh Es di negara
ekuator. Tidak ada yang percaya dengan pernyataan nya tersebut. John Carstensz adalah orang eropa pertama yang menyaksikan puncak Cartesz dengan mata kepalanya sendiri.
Orang
Indonesia menyebutnya dengan Puncak Jaya, walaupun sebenarnya Puncak
Jaya bukan merupakan puncak tertinggi dari Carstensz itu sendiri. Puncak
jaya adalah salah satu puncak yang dianggap tertinggi yang ada di
pegunungan Jaya Wijaya
Ada beberpa perbedaan pendapat mengenai ketinggian puncak Carstensz Pyramid ini. Ada yang menyatakan bahwa ketinggiannya adalah 4884 m (16023 feet, bebrapa sumber menyebutnya dengan 16013 feet ), ada pula yang meyatakan bahwa ketinggiannya adalah 5030 meters (16503 ft). Australian navigational air maps
menyatakan bahwa ketinggiannya adalah 16503 feet (5030 meters). Entah
yang mana yang benar, namun yang pasti adalah bahwa puncak Carstensz
Pyramid ini merupakan puncak tertinggi di Indonesia, bahkan di Australia
dan Oceania.
Puncak Jaya (Carstensz Pyramid, 4884 m, 16023 ft), Puncak Mandala
(4640m, 15223 ft), dan Puncak Trikora (4730m, 15518 ft), adalah tiga
puncak utama yang terkenal dia pegunungan papua barat. Carstensz Pyramid
dalah puncak yang tertinggi, ketiga puncak tersebut terletak di bagian
barat dari pegunungan Jayawijaya.Dari ketiga puncak diatas, hanya
Carstensz Pyramid yang selalu diselimuti salju. Lalu darimanakah
datangnya salju yang ada da puncak Carstensz ini, yang notabene berada
di Indonesia, yang merupakan Negara ekuator? Hal ini memang suatu
keadaan yang tidak biasa. Salah satu alasan logis nya adalah adanya
badai salju tropis yang kadang akan membawa salju pada suatu tempat
diatas ketinggian 4000 m. Puncak Jaya ini (4884 m) adalah salah satu
persinggahan salju yang dibawa oleh badai tersebut
Ada 3 rute utama untuk mencapai puncak Caratensz ini. Yang pertama biasa disebut dengan rute Harrer (Harrer’s Route).
Rute ini merupakan rute yang paling mudah untuk dilewati. Meskipun
mudah, tidak berarti segalanya akan mudah dalam menaklukkan puncak Jaya
ini.
Harrer’s route
menempuh perjalanan untuk naik dan turun sekitar 12 sampai 15 jam.
Tingkat kesulitannya berkisar antara 3-4 standar UIIA. Kesulitan yang
ada dalam menempuh rute ini adalah ketika berada di bawah puncak jaya.
Kemiringan tebing yang curam, sampai dengan 10-15 derajat setinggi
kira-kira 80 meter, membutuhkan ekstra kehati-hatian. Standar UIIA
menytakan bahwa kesulitan dalam hal ini adalah 5-5+. Pengalaman
dannpengetahuan yang cukup dalam hal climbing merupakan bekal utama.
Bebatuannya cukup kuat dan tidak mudah longsor/lepas. Kesulitan yang
akan dihadapi akan lebih besar lagi ketika mencapai bebatuan yang
bergerigi dengan overhang wall yang berkisar 10 meter, dengan
tingkat kesulitan 6-7+ satandar UIIA. Bagi pendaki pemula hal ini bisa
diatasi dengan menggunakan Jumar sebagai alat bantu nya.
Rute yang kedua adalah East Ridge.
Rute ini merupakan pertengahan antara rute Harrer dan rute yang paling
sulit. Jalan yang ditempuh akan lebih jauh dan tentunya juga akan lebih
lama.
Rute yang ketiga adalah American Direct.
Rute ini merupakan rute yang akan menempuh perjalanan langsung ke
puncak. Rute ini memerlukan skill, pengalaman, dan juga pengetahuan yang
memadai tentang Climbing. Yang terburuk dari rute ini adalah,
tingkat kesulitan yang semakin tinggi ketika mendekati puncak, yaitu
tebing yang curam, dinding dari puncak Cartensz.
Jika beruntung, dari Puncak Jaya (Cartensz Pyramid),
anda akan dapat menyaksikan laut. Jika tidak, maka anda hanya dapat
menyaksikan lokasi tambang emas, dan juga hutan di sekitar pegunungan
Jayawijaya
Energi Alternatif Dari Pesisir Pantai Papua
Buah Bitanggul Bandung - Ada yang menarik selama Konferensi Energi
Nasional Mahasiswa Indonesia yang diselenggarakan di Aula Timur ITB.
Buah Bitanggul yang selama ini tumbuh liar di pesisir pantai Papua,
ternyata di tangan mahasiswa Universitas Cendrawasih dapat dijadikan
biodiesel.
Apa itu buah bitanggul? Pohonnya biasa
dibuat sebagai bahan bangunan rumah. Daunnya seperti daun jambu biasa
dan biasanya dijadikan obat mata. Bentuk buahnya mirip buah jambu batu
yang masih muda, padat, warnanya hijau, dan tidak berbau.
Buah yang bernama latin Umpilum
ini, diyakini oleh Marcshell Morrin, mahasiswa Teknik Sipil Universitas
Cendrawasih, sebagai salah satu bahan baku membuat energi alternatif. Ia
menjelaskan biji buah bitanggul bisa menghasilkan biodisel.
Mulanya biji buah Bitanggul dijemur
seharian hingga kering. Setelah itu dibungkus dengan kertas saring.
Setelah didiamkan dalam sejam, lalu dimasukkan ke dalam tabung. Setelah
itu, biji buah bitanggul yang telah dibungkus dalam kertas diberi cairan
Petrolium eter.
Air yang menetes dari kertas
saring tersebut sudah menjadi biodiesel. Air yang berwarna merah
tersebut, lalu diuapkan agar berubah menjadi warna kuning bening agar
terlihat seperti solar.
"lima
buah Bitanggul dapat menjadi 25 mililiter solar dalam waktu dua jam,"
ujarnya yang ditemui di sela seminar energi di Institut Teknologi
Bandung (ITB), Selasa (17/3/2009).
Dengan penemuan ini, Marcsheel
berharap bisa membantu masyarakat dalam mendapatkan energi alternatif,
khususnya Bahan Bakar Minyak. Ia mengatakan nelayan di Papua selama ini
sulit membeli solar akibat melambungnya harga solar yang mencapai Rp 45
ribu per liter.
Marcshell Morrin, mengatakan
buah-buah bitanggul tumbuh liar sepanjang pantai Papua. Jumlahnya bisa
mencapai ribuan pohon dalam satu kilo meter.
"Potensinya sangat besar sekali
untuk Papua, bisa menolong masyarakat Papua yang kesulitan membeli solar
yang mencapai Rp 45 ribu per liter," ujar Marcshell
Marchshell mengungkapkan,
penelitian ini baru sebatas penelitian internal Universitas Cendrawasih.
Pemerintah provinsi Papua belum mengetahui tentang penelitian buah
Bitanggul. Dengan mengikuti pameran energi dan Konferensi Energi
Nasional Mahasiswa Indonesia, Marchshell dan peneliti lainnya dapat
memperkenalkan kepada publik.
"Karena penelitian ini baru
dimulai bulan Januari lalu dan kami tidak tahu bagaimana caranya
memberitahu pemprov. Dengan mengikuti pameran ini diharapkan pemprov
dapat melirik hasil penelitian kami," ujar Marcshell yang mengaku telah
mencoba temuannya pada mesin mobil.(rks/ern)
Selasa, 04 Mei 2010
Wisata Sejarah Perang Dunia II di Pulau Owi, Papua
Bagi orang kebanyakan, melihat Pulau Owi saat ini tentu tidak terlalu
istimewa. Sebuah pulau terpencil di kawasan Biak Timur, Papua, seluas
820 hektar dan dihuni kurang dari seribu nelayan. Fasilitas sosial yang
ada hanyalah dua buah SD, Posyandu dan gereja di desa Owi dan Saredi,
yang dilayani jalan sepanjang 15 kilometer.
Hanya saja, disana terdapat tiga hamparan bekas landasan pacu pesawat terbang yang tidak terurus. Namun bagi seorang Freddy Numberi, pulau yang penah dijuluki An Island of Death ini merupakan sebuah “mutiara” yang menyimpan “keajaiban”.
Pulau Owi memiliki peran yang sangat strategis dalam Perang Dunia Kedua bagi pasukan Sekutu untuk mengalahkan Jepang, di wilayah Pasifik dan Asia Tenggara. Bermodalkan nilai sejarah yang sangat besar inilah, maka tidak berlebihan apabila diimpikan Pulau Owi menjadi titik utama pariwisata di masa depan.
Apabila, keindahan alam lautnya juga sangat mempesona. Pulau karang ini dikelilingi oleh tiga Taman Laut, yakni Padaido, Pulau Rani-Mapia, dan Pulau Meos Indi. Dengan demikian Pulau Owi dianggap dapat menjadi sekaligus obyek wisata sejarah, wisata bahari, dan wisata budaya, dan menjadi salah satu penghela gerbong ekonomi mensejahterakan Papua.
Jenderal Douglas MacArthur sebagai Panglima Wilayah Pasifik Barat Daya pasukan Sekutu Amerika Serikat berpendapat, bahwa untuk melumpuhkan Jepang harus diputus nadi kekuatannya pada Pulau Luzon, Filipina. Maka markas Komando Sekutu dipindah dari Brisbane, Australia, ke Hollandia, yang kini dikenal sebagai Jayapura. Dari sini, diharapkan dengan strategi “Loncat Katak (frogleap)”, melalui Biak dan Morotai, dapat merebut Filipina.
Teknologi pesawat tempur saat itu, memerlukan titik-titik pengisian bahan bakar, diantaranya untuk merebut Biak yang diduduki oleh 11.000 tentara Jepang. Pasukan Dai Nippon tersebut bermarkas di goa-goa, yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Untuk itu ditemukanlah sebuah pulau karang yang sangat ideal. Yakni sepi terpencil, tidak jauh dari Biak, relatif landai dengan tekstur karang keras berpasir, dan menyimpan air tawar.
Target waktu gerakan pasukan Sekutu dari Papua Nugini ke Filipina harus tuntas di akhir tahun, maka pada Mei 1944 itu pula pasukan Zeni dari Sekutu dalam tempo satu minggu menyelesaikan tiga landasan pacu pesawat tempur di Pulau Owi. Hancuran karang ditebar, lalu disiram dengan air laut, maka menjadi landasan pesawat yang cukup keras.
Dalam bukunya “Keajaiban Pulau Owi” itulah Freddy Numberi menguraikan kisah Perang Dunia Kedua terkait dengan peran sejarah Pulau Owi secara detail. Dirangkai pula dengan potensi dan impian indahnya untuk menggali “mutiara” pulau karang yang menarik tersebut menjadi destinasi wisata bagi Papua, lengkap dengan rencana strategisnya.
Wilayah Tanah Papua memiliki potensi kekayaan pariwisata yang sangat luar biasa besarnya, apabila dikelola secara professional, arif dan bijaksana, hal itu akan menghasilkan devisa yang sangat besar bagi Negara, termasuk bagi kesejahteraan masyarakat Papua, diantaranya adalah obyek wisata sejarah di Pulau Owi. Pulau Owi memang memiliki potensi besar untuk tumbuh Keajaiban Pulau Owi.
Dalam rangka pengembangan Pulau Owi sebagai salah satu obyek wisata di Wilayah Tanah Papua, bagi para pengusaha dan kalangan stakeholder yang lain dapat diberikan kemudahan-kemudahan sebagai insentif guna menunjang pembangunan pulau tersebut. Beberapa faktor yang dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam memilih Pulau Owi sebagai salah satu obyek wisata berbasis sejarah dan kepariwisataan Papua pada umumnya(*)
Hanya saja, disana terdapat tiga hamparan bekas landasan pacu pesawat terbang yang tidak terurus. Namun bagi seorang Freddy Numberi, pulau yang penah dijuluki An Island of Death ini merupakan sebuah “mutiara” yang menyimpan “keajaiban”.
Pulau Owi memiliki peran yang sangat strategis dalam Perang Dunia Kedua bagi pasukan Sekutu untuk mengalahkan Jepang, di wilayah Pasifik dan Asia Tenggara. Bermodalkan nilai sejarah yang sangat besar inilah, maka tidak berlebihan apabila diimpikan Pulau Owi menjadi titik utama pariwisata di masa depan.
Apabila, keindahan alam lautnya juga sangat mempesona. Pulau karang ini dikelilingi oleh tiga Taman Laut, yakni Padaido, Pulau Rani-Mapia, dan Pulau Meos Indi. Dengan demikian Pulau Owi dianggap dapat menjadi sekaligus obyek wisata sejarah, wisata bahari, dan wisata budaya, dan menjadi salah satu penghela gerbong ekonomi mensejahterakan Papua.
Jenderal Douglas MacArthur sebagai Panglima Wilayah Pasifik Barat Daya pasukan Sekutu Amerika Serikat berpendapat, bahwa untuk melumpuhkan Jepang harus diputus nadi kekuatannya pada Pulau Luzon, Filipina. Maka markas Komando Sekutu dipindah dari Brisbane, Australia, ke Hollandia, yang kini dikenal sebagai Jayapura. Dari sini, diharapkan dengan strategi “Loncat Katak (frogleap)”, melalui Biak dan Morotai, dapat merebut Filipina.
Teknologi pesawat tempur saat itu, memerlukan titik-titik pengisian bahan bakar, diantaranya untuk merebut Biak yang diduduki oleh 11.000 tentara Jepang. Pasukan Dai Nippon tersebut bermarkas di goa-goa, yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Untuk itu ditemukanlah sebuah pulau karang yang sangat ideal. Yakni sepi terpencil, tidak jauh dari Biak, relatif landai dengan tekstur karang keras berpasir, dan menyimpan air tawar.
Target waktu gerakan pasukan Sekutu dari Papua Nugini ke Filipina harus tuntas di akhir tahun, maka pada Mei 1944 itu pula pasukan Zeni dari Sekutu dalam tempo satu minggu menyelesaikan tiga landasan pacu pesawat tempur di Pulau Owi. Hancuran karang ditebar, lalu disiram dengan air laut, maka menjadi landasan pesawat yang cukup keras.
Dalam bukunya “Keajaiban Pulau Owi” itulah Freddy Numberi menguraikan kisah Perang Dunia Kedua terkait dengan peran sejarah Pulau Owi secara detail. Dirangkai pula dengan potensi dan impian indahnya untuk menggali “mutiara” pulau karang yang menarik tersebut menjadi destinasi wisata bagi Papua, lengkap dengan rencana strategisnya.
Wilayah Tanah Papua memiliki potensi kekayaan pariwisata yang sangat luar biasa besarnya, apabila dikelola secara professional, arif dan bijaksana, hal itu akan menghasilkan devisa yang sangat besar bagi Negara, termasuk bagi kesejahteraan masyarakat Papua, diantaranya adalah obyek wisata sejarah di Pulau Owi. Pulau Owi memang memiliki potensi besar untuk tumbuh Keajaiban Pulau Owi.
Dalam rangka pengembangan Pulau Owi sebagai salah satu obyek wisata di Wilayah Tanah Papua, bagi para pengusaha dan kalangan stakeholder yang lain dapat diberikan kemudahan-kemudahan sebagai insentif guna menunjang pembangunan pulau tersebut. Beberapa faktor yang dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam memilih Pulau Owi sebagai salah satu obyek wisata berbasis sejarah dan kepariwisataan Papua pada umumnya(*)
Sabtu, 01 Mei 2010
FIRST LOOK AT PAPUA
Indahnya alam Papua, itu kesan pertama ketika pertama kali saya menginjakkan kaki di tanah cendrawasih tersebut. Pengalaman yang sangat luar biasa, memulai perjalanan dari Bandara Mozes Kilangin Timika menuju Tembaga Pura, kalau saya kadang menyebutnya Negeri Di Atas Awan, memang benar adanya, perjalanan yang di lalui melewati hutan yang sangat lebat dengan pohon yang besar-besar, tapi tertata rapih dan indah. Penduduk setempat yang kadang saya lihat berlalu lalang dijalan, entah akan kemana mereka? Karena selama perjalanan tidak saya temukan rumah tinggal seperti layaknya di pulau jawa, aneh memang, mereka sudah terbiasa dengan kehidupan seperti itu, tapi sekali lagi saya katakan semua itu indah, pengalaman yang sangat luar biasa. Setengah jam berlalu, jalan mulai menanjak memasuki kawasan agak terjal yang kanan kiri agak-agak jurang, suhu udara mulai rendah karena dataran mulai meninggi, terlihat kabut tipis yang lama kelamaan agak menebal, saya berfikir itu hanya kabut biasa seperti layaknya di puncak Bogor, tapi ternyata itu adalah awan, iya, itu adalah awan,awan yang selama ini hanya ada diatas, wah takjubnya luar biasa saya, lalu saya membuka kaca mobil, saya ingin tahu seperti apakah awan itu, awan adalah sekumpulan air yang sangat-sangat halus. Ketakjuban saya tidak berakhir begitu saja , ternyata setelah melewati awan-awan tersebut, di sepanjang jalan terlihat bunga-bunga Edelweis yang tumbuh liar, perjalanan menanjak dan terus menanjak, tak terasa saya sudah berada di ketinggian 1800-2900 di atas permukaan laut, dengan suhu kira-kira 8-15 derajat celcius. sampai saat ini saya kadang berfikir, koq ada yach kehidupan yang layak diatas sana(dikelilingi oleh gunung-gunung).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar